restu violet
Mar 10, 2025
122
seluruh kejadian, tokoh dan tempat dalam cerita ini adalah fiktif belaka. apabila terdapat kemiripan atas cerita ini adalah hal yang tidak disengaja. selamat membaca
Restu duduk lemah di bangku taman diantara pepohonan di hutan kota siang itu. Tubuhnya bergetar hebat. Kesal, marah, kecewa dan sedih jadi satu. Ia shock hebat. Satu per satu daftar nasib buruk seolah digenapkan. Rasa-rasanya hampir semua ter-checklist. Restu Mahaputra, 26 tahun, pria perantau bertubuh kurus dengan rambut jabriknya, selalu menggunakan kemeja kotak- kotak ciri khasnya dan berkacamata minus tiga. Memperbaiki nasib bukanlah satu-satunya alasan ia meninggalkan kampung halaman. Tanah kelahirannya sudah terlalu menyakitkan baginya. Seluruh keluarga besarnya: Bapak, Ibu, kedua adiknya, nenek, paman serta bibinya meninggal dalam sekejab, disapu air bah dari lereng gunung. Rumah mereka yang ada di bawah bukit seketika lenyap dari pandangan akibat arus sungai deras di atas gunung akibat hujan dua hari berturut-turut.
Restu selamat oleh karena ia sedang menghabiskan waktu semalaman di warnet kampung sebelah, akibat hujan yang tidak kunjung berhenti. Ia sudah berkali-kali diingatkan, jika tidak bisa diartikan sumpah serapah orang tuanya, bahwa ia terlalu banyak membuang waktu dan uang hanya untuk memelototi layar komputer disana. Tidak, ia tidak sedang bermain game-online, seperti kebanyakan pengunjung lain. Ia hanya melihat puluhan, mungkin ratusan video sebuah aplikasi, memperhatikan setiap frame, mengamati terang gelap dan warna serta besar kecilnya suara yang dihasilkan dari masing-masing video. Restu jatuh cinta dengan video. Bukan, ia jatuh cinta dengan produksi setiap video itu. Sebuah kecintaan yang janggal dari seorang pemuda lereng gunung yang tidak pernah sekalipun keluar dari kampungnya, bahkan hanya untuk ke kota kecamatan yang jaraknya hanya sepelemparan batu, bila yang melemparnya adalah raksasa, tiga jam perjalanan terjal.
Restu generasi ke tujuh keluarga pendiri kampung itu. Bapak dan Ibunya adalah petani kopi turun temurun, begitu pula saudara-saudara yang dikenalnya. Meskipun keturunan pendiri kampung, mereka hanyalah pekerja. Kepolosan dan kebaikan hati mereka dimanfaatkan oleh orang kota, sehingga mereka yang tadinya tuan rumah menjadi penumpang dan yang tadinya sekedar tamu menjelma penjajah yang menggerogoti. Meskipun kopi sedang tren diluar sana, Restu sekeluarga tidak merasakan dampaknya. Tapi mereka tidaklah miskin. Ketekunan dan tawakal berbuah keberuntungan dan penjagaan Tuhan, membuat mereka bisa menghasilkan uang dari usaha sampingan lainnya. Tidak miskin, namun tidak berlebih. Itulah sebabnya, Restu bisa menyalurkan hobinya pergi ke warnet sekali dalam sebulan, seharian.
Bencana telah meluluhlantakkan keceriaan Restu, menggulung mimpi besar yang lama diidam-idamkannya, membuat ia menjadi penutup generasi. Ia satu-satunya keturunan pendiri kampung yang selamat malam itu, bahkan kampung itu telah lenyap disapu Bumi. Sudah tidak ada harapan lagi, bahkan harta yang tersisa adalah apa yang dikenakannya malam itu. Ia membeku semalaman, mecoba memproses apa yang terjadi, rencana dan jalan apa yang harus dibangunnya nanti. Ia tidak boleh berhenti, jatuh dan terkoyak dihari itu.
Hari berlalu, Restu memberanikan diri menyusun strategi baru. Ia harus keluar dari kampung ini, langkahnya harus sejauh mungkin, tidak mungkin hanya bergeser ke kampung sebelah atau mencari tumpangan hidup. Toh jika ia harus menumpang hidup, biarlah ia menumpang di tempat yang sama sekali asing baginya. Ia sudah kepalang tidak punya siapa-siapa. Satu yang Restu ingin jaga kuat, tempat asing itu haruslah yang bisa membawanya mewujudkan cita-citanya, menjadi videografer. Maka ia memulai langkahnya dengan mantap. Setelah menengadahkan tangan berdoa, ia hanya sekali melihat kebelakang, ke tempat bekas kampungnya yang kini telah penuh lumpur dan pohon-pohon yang berjatuhan menumpuk. Ia bergegas.
Tidak, ia tidak serta merta menuju ke kota tujuannya, tempat ia meyakini bahwa mimpinya akan terwujud disana. Ingat, ia sebatang kara, dan harta satu-satunya hanyalah yang terpasang di badannya. Ia masih muda sekali saat itu, sekitar 15 atau 16 tahun. Maka ia menjalani harinya selangkah demi selangkah, bergerak dari kampung ke kampung, bergeser dari satu kota ke kota, berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, mengumpulkan pundi-pundi untuk sekedar bertahan hidup sembari meniti mimpinya. telah banyak pelajaran hidup hasil pengalaman bekerjanya saat itu, dari penyapu pasar, asisten pedagang sapi, pelayan restoran, sales alat pertanian, dan lainnya. Ia juga tetap membekali dirinya dengan kemampuan akademik, sekolah dan berbagai kursus keterampilan,dibayari oleh dirinya sendiri, tabungan yang ia sisihkan dari gai bekerja apa saja. Ia adalah paket lengkap pelaku kehidupan.
Setelah pengembaraan selama lima tahun, sampailah ia ke kota impiannya. Maka sejak saat itu, dimulailah misi utamanya, menjadi videographer seperti ketika ia pertama jatuh cinta pada sebuah film tentang kisah anak gunung yang merantau ke luar negeri dan menjadi pengusaha sukses. Rabu pagi pukul sepuluh Restu menuju kantor produksi iklan hasil semalaman menelusuri internet. Perlu waktu lama baginya menemukan gedung 5 lantai diseberang stasiun tempat orang berlalu lalang naik dan turun kereta listrik. Ia masuk ke lingkungan gedung tesebut, memperkenalkan diri kepada satpam yang bersiaga di lobi lantai 1. Setelah menyampaikan maksudnya, ia diminta menuju lantai 3 ke ruangan ketiga sebelah kiri dari pintu lift menemui salah satu staf HRD. Restu bergegas. Pintu lift terbuka di lantai 3, didepannya terhampar meja panjang dengan tumpukan kertas, whiteboard penuh coretan dan layar monitor besar yang menampilkan cuplikan berbagai klip produksi. Sebuah pemandangan yang indah dan sangat berharga di mata Restu. “Mimpiku berlabuh disini” pikirnya. Tidak berselang lama, ia kembali fokus. Ia menoleh sekitar, mencari orang yang bisa ditanya untuk memastikan ruangan yang ditunjukkan satpam tadi. Nihil, tidak ada satu orang pun sedang hari masih terlalu pagi untuk makan siang. Percuma, ia tidak menemukan satu manusia pun. Ia memberanikan diri berjalan kearah kiri menuju ruangan ketiga, tempat divisi HRD bekerja. Tiba-tiba ada suara di belakangnya. “Cari siapa?”. Restu menoleh terkejut. “Ëmm, maaf, saya Restu” jawabnya sopan. “Iya, cari siapa? Perlu apa disini?” sahut si pemilik suara kembali. “Saya, HRD, panggilan wawancara” timpal Restu gugup. “Oh, ruangan nomor tiga sebelah sana, masuk saja tunggu di kursi” jawab suara itu sambil berlalu. Restu berpikiran positif tanpa sekalipun berprasangka, menuju ruangan yang ditunjukkan pemilik suara tadi.
“Mari masuk ke ruangan meeting, kita interview disana” suara itu terdengar kembali, suara yang sama dengan sebelumnya. Restu mengangguk tersenyum sembari mengikuti. “Mas Restu ya? Coba ceritakan singkat profilnya” pinta suara tersebut. “Baik Ibu” jawab Restu. “Saya….” Baru kata pertama diucapkan ia dihentikan. “Bukan Ibu. Mbak saja. Atau panggil nama saya, Vivi”. Rupanya pemilik suara itu seorang gadis, sepantaran Restu, mungkin lebih tua sedikit. Wajah oval, rambut diikat, kacamata tipis, bibir tipis dan kulit kuning bersih. “Maaf, maaf, saya tidak bermaksud tidak sopan Bu, eh Mbak” timpal Restu terburu-buru. “It’s OK, lanjut”. Dan interview pun berlanjut, kira2 satu setengah jam lamanya. Cukup lama Restu berusaha keras meyakinkan perempuan di depannya, bahwa meskipun tanpa pengalaman, ia sangat ingin bisa diterima bekerja disana. “Baik, kita cukupkan interview hari ini. Kami akan pertimbangkan, tunggu kabar dari kami ya” Vivi menutup pembicaraan. “Mohon maaf mbak, boleh saya tanya sebelum sesi ini selesai?” Restu memohon. “Ya gimana?” Vivi menyimak. “Kalau boleh saya mohon diterima, digaji berapa saja saya terima. Videografi ini sudah cita-cita saya sejak kecil dan saya hanya tau itu saja. Untuk kesini ada banyak yang harus saya jalani terlebih dahulu selama lima tahun terakhir” jawab Restu. “Bukan saya memaksa. Tapi lokasi ini, lowongan ini adalah tujuan akhir saya. Saya tidak punya tujuan lain, setidaknya belum. Jadi kalau saya diterima, saya bisa bekerja hari ini juga. Atau misalkan magang tanpa digaji juga tidak apa-apa, sekaligus saya minta ijin untuk sementara saya menumpang tidur dikantor ini dulu, sampai saya digaji. Rencananya gaji itu yang nanti akan saya pakai untuk cari tempat tinggal. Jika diijinkan Mbak” lanjut Restu. “Maaf saya lancang. Tapi kalau ini membuat saya terlihat tidak sopan dan saya tidak diterima disini, saya menerimanya dengan baik. Terima kasih” tutup Restu. “Sebuah permintaan yang tidak asing buat kami mas Restu. Ini bukan interview pertama kami. Tentu kami selalu punya pengalaman begini” jawab Vivi. “Sekali lagi mohon maaf apabila saya terkesan tidak sopan. Sungguh apa yang saya sampaikan sesuai dengan keadaan nyata saya, tidak ada yang saya lebihkan. Jika sekiranya ada lowongan office boy, saya siap mulai hari ini juga. Saya sungguh-sungguh ingin belajar dan bekerja disini, mengembangkan potensi dan kualifikasi bagi saya dan kantor” balas Restu sembari menundukkan kepala. Cukup lama Vivi terdiam, wajahya menengadah melihat lampu seolah sedang berpikir jauh. Setelahnya, mereka berdua keluar dari ruangan tersebut. Restu menyampaikan salam dengan kepala tertunduk.
Hari berikutnya dan hari-hari selanjutnya Restu mulai menabung semangat menjalani mimpinya. Tidak mudah jalannya, terjal dan mendaki. Banyak rintangan dan hambatan, naik turun emosi, begitu pula dengan nasib baiknya yang seolah mengapung di lautan luas penuh badai dan ombak. Restu bertahan, tanpa banyak menggerutu. Dan diantara episode perjalanan Restu meraih mimpi, Vivi memperhatikan dari kejauhan. Restu sebenarnya menyadari hal tersebut, namun ia tidak berani bersikap. Bagaimanapun ia hanya seorang anak malang sebatang kara yang sedang membangun mimpinya, jatuh bangunnya. Ia memang pada akhirnya dekat dengan Vivi. Tidak, tidak hanya Vivi, tapi hampir semua orang menerima Restu dengan tangan terbuka. Sebuah lingkungan kerja yang sehat dan supportive. Violet Purnamasari, nama lengkap Vivi. Sebuah nama cantik yang didapatkan Restu dari kedekatannya dengan Vivi berikutnya. Kedekatan yang hanya sampai disitu saja. Restu tahu menempatkan diri. Ia memendam segala kekaguman atas pribadi seorang gadis cantik bernama Vivi. Bulan dapat berwarna violet saat terlihat melalui awan tipis dimalam yang tenang. Sebuah momen yang syahdu. Itulah gambaran yang didapatkan Restu terhadap Vivi. Vivi pun sebenarnya juga merasakan perhatian berbeda yang diberikan oleh Restu. Namun sebagaimana Restu, ia juga menyimpan dalam kekagumannya atas sosok Restu Mahaputra, lelaki bermental baja yang berhasil bertahan dari gempuran garis kehidupan. Bagaimanapun Vivi adalah perempuan, ia adalah bunga yang dicari sang lebah, bidadari yang dinanti, bukan sebaliknya. Begitulah mereka saling memendam kekaguman masing-masing, hingga akhirnya berpisah jalan atas karir masing-masing. Vivi telah bertransformasi menjadi wanita karir yang telah terkenal atas kehandalannya mengelola HRD. Restu juga telah menjelma menjadi seorang pengusaha jasa videografi dan videoediting kenamaan dengan banyak klien.
Dan kini Restu kembali menghadapi badainya, terpuruk kepayahan di tengah taman, disiang hari. Ia benar-benar stress tinggi, frustasi. Kedua tangannya memegang kepalanya, kemudian menundukkan kepala, menenggelamkannya diantara jaket yang dipakainya hari ini. Seorang kenalan bisnis menghajarnya, menghabisi citra baiknya sebagai seorang videographer kawakan. Lebih tepatnya, ia difitnah, dicap, distempel, apapun itu yang menyangkut harga dirinya sebagai pelaku videografi professional. Bahwa ia baik kepada siapapun, ramah kepada siapa saja dan murah ilmu kepada mereka yang bertanya, rupanya dimanfaatkan untuk mejatuhkan karirnya. Restu terpojok tidak dapat melawan, oleh kenalan yang tidak hanya seorang kenalan biasa saja. Ia pernah mendarmakan profesionalisme dan kompetensinya kepada orang tersebut, membantu mengembangkan bisnisnya hingga besar, sampai akhirnya Restu pamitan minta ijin untuk belajar membuka usahanya sendiri. Kenalan tersebut tidak terima, ia merasa seperti dikhianati, kesal, dendam. Hingga akhirnya dendam itu dibalaskan ketika Restu telah sanggup berdikari dengan usaha yang dirintisnya. Sayangnya Restu terlalu sibuk dengan pekerjaannya, tenggelam dalam hobi yang terlalu dicintainya, lupa atas orang-orang disekitarnya, tidak peka atas perhatian-perhatian yang diberikan kepadanya. Hingga akhirnya kini ia sendiri, tidak ada tempat mengadu, tidak ada seseorang untuk berbagi dan saling menasehati. Ia benar-benar sendiri. Dulu ia tahan perasaan itu, kecewa, marah, frustasinya. Ia mati-matian fokus pada upaya menyelamatkan usahanya. Restu lupa, bagaimanapun ia manusia, bisa lemah, bisa luka. Pada akhirnya pertahanan goyah, berbagai upaya yang dilakukannya semakin mengarahkan Restu pada jurang kejatuhan. Dan kini ia rapuh, tidak ada jalan keluar lagi menurutnya, hingga ia hanya bisa terdiam menundukkan kepala.
Sebuah tepukan di pundak kanan menyadarkan Restu dari kekalutan hati dan pikiran. “Kamu kenapa?” sebuah kalimat terdengar di telinga Restu. Suara itu…Restu sangat mengenalnya. Ia mencoba menoleh kebelakang. Siluet muka terlihat. Gelap tapi silau, tertutup sinar matahari yang meneranginya. Restu berusaha mengenali wajah itu. Tapi tanpa usaha itu, seharusnya Restu bisa menebak siapa dibalik suara tadi. Suara itu terlalu familiar baginya. “Vi…Vivi?” buka Restu. “Wajah ini tidak pernah aku lihat sebelumnya. Atau kamu sengaja tidak pernah membukanya” balas sesosok tersebut sambil bergerak ke depan Restu. Kini mereka saling bertatapan. Restu terkejut, wanita yang selama ini dikaguminya telah menjelma menjadi sosok dengan paras bidadari, kekaguman level berikutnya bagi seorang pemuda seperti Restu. Kini Vivi telah berhijab. Restu percaya teori bahwa perempuan dengan hijab, senyumnya lebih magis, aura wajahnya pun lebih magis, dan apapun yang terlihat dan terdengar adalah formula keindahan level surga. Dan kini Restu sedang berhadapan dengan apa yang diyakininya, di depan mata. Vivi sadar atas keanehan Restu. “Halooo…ada orang dirumah?” ucap Vivi memecah ekspresi Restu yang sedang terpaku. “Ha…Oh iya, Eh iya vi” buru-buru Restu mengumpulkan fokusnya. “Vi…kamu disini? Lagi apa?” Restu mencoba menyembunyikan perasaan kalutnya. “Udahan ngecohnya. Sekarang cerita…ada apa…siapa tahu aku bisa bantu” Vivi meruntuhkan sandiwara muka Restu. “Enggak kok… Enggak ada apa-apa. Aku cuma mau istirahat aja disini” Restu sekuat tenaga menutupi perasaannya. “Restu, kamu bukan dewa, bukan juga Superman. Kamu manusia biasa juga, sama kayak aku. Bicaralah…Aku tahu ini bukan kamu, sudahi kepura-puraan kuatmu”. “Kalau kamu biasa aja, ga mungkin kamu datang dengan lesu kesini sejak pagi dan tertunduk lesu. Daaaan…ini sudah hari kedelapanmu seperti ini!” serang Vivi. Restu terkejut, bagaimana bisa Vivi membacanya, tepat tanpa meleset. Bahkan Restu tidak sadar ini sudah hari kedelapan ia datang ke taman ini. “B…Bagaimana kamu tahu? Selama ini kamu…” Restu mencoba mendapat jawaban Vivi. “Aku sering kesini. Aku suka suasana taman ini. Dan iya, aku tahu sejak hari pertama kamu datang bahwa itu kamu. Aku perhatikan kamu. Aku biarkan kamu sendiri, mungkin itu yang kamu perlu. Tapi, berhari-hari, seperti itu setiap hari, kamu nggak baik-baik aja” balas Vivi. Dan akhirnya mereka saling bercerita. Tentang kehidupan mereka, tentang hidup yang mereka jalani masing-masing hari demi hari setelah keluar dari kantor lama mereka. Dan akhirnya Restu menceritakan kesulitan yang dihadapinya. Tentang ombak dan badai yang dhadapinya. Tentang tidak adanya jalan keluar baginya.
“Ketika kamu tahu sudah tidak ada pilihan lain, tidak ada solusi lagi. Cara terbaik dan satu-satunya adalah menghadapi dan menjalani” Vivi memecah keheningan. “Memang berat, mungkin gelap. Tapi sekuat apapun kamu mencoba melawannya, kamu hanya akan melihat dirimu makin lemah”. “Jangan pernah berpangku pada satu hal. Jangan coba membuktikan diri kepada semua orang. Dan jangan juga berfokus pada satu orang, satu kelemahan dan satu kekurangan”. “Yang seperti itu hanya membuatmu tertutupi sedangkan banyak kelebihanmu lainnya. Banyak orang lain yang percaya sama kamu dibanding dengan satu orang saja. Fokus pada yang menghargaimu, bukan yang menjatuhkanmu. Apa yang kamu mau buktikan ke dia. Bahkan mungkin tidak ada pengaruh apapun untuk dia.” Vivi menyerang Restu dengan logikanya. “Sudahlah, ketika dibelakangmu ada badai dan didepanmu adalah kabut, coba lewati kabutmu itu ketimbang berbalik melawan badai. Siapa tahu didepan cuaca lebih baik. Dan kalaupun enggak juga, setidaknya kamu udah teruji melewati badai sebelumnya.” Vivi menutup serangannya.
Restu termenung cukup lama. Ia tersadar, ia telah melewati serangkaian serangan badai yang mungkin lebih banyak dari orang manapun. Kehilangan keluarga yang dicintai, jatuh bangun karir dan kesialan yang dihadapi. Restu sudah terlalu sering terperosok dalam jurang. Maka badai kali ini harus nya layaknya badai-badai sebelumnya. Jurang saat ini bukannya seperti jurang-jurang sebelumnya. Dan ketika sudah jatuh kebawah, bukahkah keatas adalah jalan satu-satunya. Restu terlambat menyadari, hidupnya seperti sedang naik dari gunung sat uke gunung lainnya. Bahwa diperlukan turun kebawah setelah sampai di puncak gunung, untuk menapaki gunung-gunung selanjutnya. “Terima kasih Vi, kamu menyadarkan aku dari ketakutanku.” Restu tersenyum lega. ”Syukurlah” balas Vivi. Badan Restu kembali berguncang, jantungnya sekali lagi berdegup kencang. Ini bukan lantaran badai seperti sebelumnya. Ini karena saat ini ia duduk dekat sekali dengan wanita yang dikaguminya, dan hanya berdua. Tidak, tidak boleh lagi seperti sebelumnya. Ini harus ia sampaikan. Harus hari ini, harus saat ini dan di momen ini. “Vi, kalau boleh…ada yang mau aku sampaikan.” Restu memberanikan diri mengawali. “Iya aku tahu.” balas Vivi. Sekali lagi Restu terkejut, kali ini yang ke delapan ratus tujuh puluh sepertinya. Dalam hatinya ia berpikir, semudah itukah ia terbaca oleh orang lain, atau setidaknya oleh Vivi. Restu baru akan berbicara kembali ketika Vivi tiba-tiba menjauh, meninggalkan senyum cantiknya sebagai salam perpisahan. Restu ingin sekali berteriak dan mengejar Vivi sampai tiba-tiba tepukan itu terasa di pundak kanan Restu.
“Mas… sudah senja. Sebentar lagi malam. Dari yang terlihat di langit, malam ini akan hujan lebat. Pulanglah.” Suara bapak tua menyadarkan Restu dari tidurnya. Restu terbangun, ia kaget, sedikit oleng. ”Vi…yang barusan…(mimpi?: suara hati)” ucap Restu sekenanya. “Mas ketiduran tadi. Saya lihat dari penampilan Mas, sepertinya mas punya rumah untuk pulang. Pulanglah mas, taman sudah mau saya tutup.” Kembali bapak tua itu mengingatkan. Bapak itu mungkin berusia sekitar 68 tahun, dengan baju kerja lusuhnya, rambutnya hanya sedikit dan berwarna putih, kumisnya sebagian hitam dan sebagian sisanya hana menunggu waktu untuk menjadi putih. Tangan kirinya menggenggam gembok yang mengikat rantai menjuntai hingga saku celananya, sedangkan tangan kanannya memegang sebuah sapu taman. Bapak itu baru saja menyelesaikan tugas terakhirnya di hari ini sebelum pulang. “B…baik pak. Terima kasih sudah dibangunkan. Maaf saya membuat Bapak pulang larut.” Jawab Restu dengan sopan. Restu telah terkumpul kesadarannya dan beranjak keluar taman. Bapak itu menunggu Restu berlalu, setelahnya ia tersenyum sembari bergumam. “Semoga badaimu segera berlalu, orang hebat.”.
Quotes.
"leader is the one who more risk taker than charm hunter. followers always take the safer and easier zone."- myself
"aku belajar seni dari nasirun, merenung hidup dari sujiwo tedjo, melek politik dari total politik dan penasaran marketing dari tangan belang. belajar bisa kapan saja, dimanja saja dan dari siapa saja. syaratnya satu, tidak sok tahu."- myself
"the most effective leadeship today isn't about technical expertise and having all the answer. it's about being human, showing vulnerability, connecting people and being able to unleash their potential."- hortense le gentil
"dunia itu seimbang, apa yang baik mungkin akan buruk, dan apa yang buruk mungkin juga baik."- myself
"kalau bisa, hindari berutang budi. di tangan yang salah utang budimu bisa jadi tagihan tanpa batas."- js khairen
loading ...