article

panda gajah

panda gajah

Jul 23, 2025

35

a story of exploring another places

images

Siang itu Bapak Gajah terkejut. Dering ringtone HP dan getarannya menyadarkan ia dari kekusutan bekerja sejak pagi. “Aku pengen buat kartu melintas” tulisan itu keluar dari layar HP Bapak Gajah yang menyala. membaca tulisan itu Bapak Gajah terkejut sekaligus keheranan. “Untuk?...” Balas Bapak Gajah. “Aku pengen main ke tanah diseberang sana” Jawaban itu membuat Bapak Gajah melamun, membayangkan apa yang terjadi. “Ok, nanti sore kita ketemu di taman bundar”. Bapak Gajah mencoba memberi jeda, mengumpulkan akal untuk berpikir dan merencana. “Ok” Balasan singkat di seberang layar. Waktu berlanjut, Bapak Gajah kembali menghadapi benang kusut pekerjaannya.

Hari menuju senja, semburat oranye di awan menandakan pergantian shift antara matahari dan rembulan. Sore itu Bapak Gajah buru-buru meninggalkan kandang kerjanya, berjuang mengarungi deruan suara mesin, knalpot sekaligus klakson untuk segera menuju taman bundar, tempat yang dijanjikan di layar HP-nya. Bajunya terlalu kusut hasil berdiri, duduk dan bergerak sepanjang hari, keringat di kepala diusap sekenanya. Ia memindai sekeliling mencari sosok yang berjanji dengannya atau setidaknya tempat bersandar sambil menunggu. Arah pukul 3. Bapak Gajah mengenali postur itu, ia mendekat. “Hai, sudah berapa lama menunggu?” tanya Bapak Gajah sambil bersiap duduk. “ Hmm, hampir setengah jam sih, tapi gapapa” balas sosok yang telah lebih dahulu duduk disamping Bapak Gajah. “Jadi gimana? kenapa tiba-tiba pengen punya kartu melintas?” timpal Bapak Gajah. “Ga tau, Ibu Merpati tiba-tiba kasi info ada pendaftaran kartu melintas trus sambil bilang katanya mau coba padi nikmat di tanah seberang” balasan yang terdengar tidak ingin disalahkan. Merasa bahwa pertanyaannya terkesan menyudutkan dan respon jawabannya seolah merasa disalahkan, Bapak Gajah buru-buru menimpali “Gpp, cuma tanya aja Anak Panda. Tidak ada yang salah dan tidak ada yang menyalahkan”.

Mendengar jawaban itu, Anak Panda masih khawatir “iya gapapa”. Sebuah jawaban yang masih terasa janggal bagi Bapak Gajah. “Anak Panda, beneran kok ini cuma pertanyaan. Dan ga usah khawatir, kita buat kartu melintas! Kita makan padi nikmat itu! Janji!!” Bapak Gajah meyakinkan Anak Panda dengan ceria. “Kita atur jadwal dan strategi, kita buat kartu melintas itu. Tapi setelah kartu melintas jadi, kasi waktu 3 purnama Bapak Gajah siapkan semuanya, dan semoga saat hari itu tiba kita benar-benar siap”. Akhirnya setelah kesepakatan itu, masing-masing menyiapkan diri, tentu Bapak Gajah yang perlu kerja sangat keras. Anak Panda menabung mimpi dan referensi, akan kemana ia nanti di tanah seberang. Toh ini pengalaman pertama yang sangat berarti, tidak mungkin sejauh itu hanya untuk menyuap padi nikmat. padi nikmat yang dimaksud adalah yang selama ini dilihatnya di layar HP, padi dengan muka kuning kemerahan, kental, dan sajian lauk yang dengan melihatnya saja membuat mata merasa lapar.

Maka begitulah mereka menjalani hari-hari, hingga akhirnya kartu melintas masing-masing siap. Bapak Gajah telah selesai menyiapkan semuanya dengan jatuh bangun dan drama-nya. Anak Panda juga sudah memupuk semua referensi di kepala. Purnama ketiga baru 2 hari berlalu. Tiba saatnya. “Anak Panda, sudah siap?” tanya Bapak Gajah. “SIAAAAPPP!” balas Anak Panda dengan semangat. Bapak Gajah dengan ransel hitam kotak di punggung-nya, tangan sebelah kiri menggandeng Anak Panda dan tangan kanannya membawa kartu melintas dan tiket duduk. Mereka tiba di pertengahan pagi, sengaja dua jam lebih awal di gerbang perlintasan. Ini adalah kali pertama Anak Panda, dengan kesadarannya akan mengalami semua peristiwa baru itu dengan mata dan akalnya sendiri. Sebelumnya, ia hanya bayi Panda kecil yang belum kenal dunia, maka ia pasti merasa belum pernah mengalaminya. setidaknya mereka masih punya waktu untuk Bapak Gajah menyaksikan tingkah lucu Anak Panda bermain di gerbang lintas. Maka mereka menikmati kuah bakso sebagai modal awal perjalanan bertualang.

Pengumuman yang terdengar memberi sinyal Bapak Gajah dan Anak Panda untuk segera mendekat menuju tempat duduk yang telah dipesan. Mereka akan menyeberang dengan burung raksasa. Anak Panda sangat bersemangat. Mereka telah menemukan tempat duduk mereka. Bapak Gajah sengaja menyiapkan kursi di sebelah jendela, dengan pemandangan sayap burung raksasa itu. Anak Panda sangat bersemangat, tidak sabar ingin segera naik ke angkasa. Burung telah di lintasan, antri dalam barisan menunggu giliran terbang. Burung raksasa perlahan bergerak merayap, mesin semakin menderu, Anak Panda semakin berdebar. Senyum di wajahnya mengembang. Burung raksasa pun mengepakkan sayapnya, meniti angkasa, mengantar Bapak Gajah dan Anak Panda menuju tanah seberang. Guncangan mengakibatkan sensasi badan berdebar namun tidak membuat Anak Panda khawatir, ia hanya tertawa kecil, menikmati pengalaman barunya, sebagai insan yang telah punya kesadaran diri dan akal. Dalam perjalanan, Bapak Gajah mencoba menghafal seluruh urutan referensi yang telah dipelajarinya, agar perjalanan mereka tanpa hambatan. Tetapi begitulah Bapak Gajah, sekuat apapun ia mengurut, semakin lemah ingatannya. Ah sudahlah, pun jika skenario membuat seluruh referensi dan pengetahuan luruh, biarlah itu menjadi pengalaman seru mereka berdua di tanah seberang.

Setelah kurang lebih dua jam meniti angkasa, burung raksasa menukik turun, bersiap hinggap di tanah seberang. Anak Panda semakin penasaran, Bapak Gajah hanya berpangku tangan. Melalui beberapa waktu, mereka semakin mendekat tanah. Anak Panda melongok jendela di celah bulu burung raksasa. “Kita sudah di tanah seberang? Kok tidak beda dengan tanah di rumah?” Anak Panda mengajukan pertanyaan. Bapak Gajah tersenyum mendengar rasa penasaran sekaligus melihat ekspresi Anak Panda. “Anak Panda masih ingat bagaimana dan dimana kita akan bertualang?” Bapak Gajah menjawab tanya Anak Panda. “Maaf Bapak Gajah, aku tidak ingat” Anak Panda merajuk. “Tidak apa2, Bapak Gajah juga lupa. Baik, kita nikmati saja pengalamannya ya, susah atau mudahnya” Bapak Gajah menenangkan rasa bersalah Anak Panda. Burung Raksasa telah melantai, para makhluk turun perlahan satu per satu. Bapak Gajah dan Anak Panda sengaja hanyut mengikuti arus kemana para makhluk melangkah, melewati pintu, lorong, dan jendela, mode serius. Setelah berpindah menumpang besi beroda, mereka sampai di pintu pengawas. Terkejut. Antrian para makhluk begitu panjang, di tengah minggu di sore hari. Bapak Gajah dan Anak Panda pasrah memilih antrian, dimanapun antrian tidak ada yang membuat mereka dapat dengan cepat keluar dari pintu pengawas. Dan begitulah mereka, setelah hampir 2 jam mengantri dan kecemasan Anak Panda tidak berani menghadap pengawas sendirian, mereka berdua akhirnya bisa keluar dari pintu pengawas. Capek, Pegal, dan Lapar. Bapak Gajah menawarkan untuk istirahat sebelum melanjutkan perjalanan. Bayangan bahwa akan ada kedai makan atau setidaknya penjaja minum, tidak terwujudkan. Sekeliling hanya ada dinding dan lorong. “Anak Panda, sambil kita cari cara ke kota, jika ada kedai kita singgah dahulu” Bapak Gajah mencoba menghibur. Anak Panda tidak bergeming, ia lelah tetapi juga terlalu tidak sabar merapat ke kota. “Kita naik besi roda atau cacing besi?” tanya Bapak Gajah. “Yang mana saja yang dekat dan terlihat” jawab Anak Panda terdengar lelah. Setelah naik turun tangga dan salah arah, mereka tiba di lorong tempat besi roda bersiap. Setelah membeli tiket, mereka menaiki besi roda, kelelahan dan kelaparan, namun rasa penasaran bertualang sedikit menutupi perasaan negatif itu.

Besi roda bergerak, ia melewati jalan bebas hambatan. Anak Panda semakin dibuat penasaran. Mengejar setiap persimpangan, pepohonan dan kemudian terlihatlah sisi gedung-gedung itu. “Seperti bukan tanah seberang” komentar Anak Panda setelah setengah jam merekam pemandangan itu di matanya. Dalam hati Bapak Panda menjawab “Pantas, karena tidak beda. Suatu saat kita akan datang ke tanah seberang lain yang lebih ajaib”. Sepanjang perjalanan mereka saling erat menggenggam tangan satu sama lain. “Sebentar lagi kita sampai” Bapak Gajah memberi isyarat Anak Panda. setelah besi roda berhenti, para makhluk pun berbaris keluar satu persatu. Setelah menaiki tangga berjalan, tentu dengan strategi “ikut arus”, sampaikan mereka di suatu platform lapang dengan pemandangan yang membuat mereka tersenyum. Deretan kios diantara jalur berkendara lainnya. Saling bertatapan, mereka kemudian berjalan, seolah tatapan tadi adalah ajakan dan kesepakatan akan kemana mereka mengawali petualangan ini. Kedai minuman di pojokan. Bapak Gajah dan Anak Panda bergantian mengambil minuman hitam bersoda, dan bar coklat untuk Anak Panda. Itulah yang dapat mengelabui badan lelah dan perut lapar mereka. Setelah membayar, hanya mengandalkan peta digital, mereka mencari kedai makanan cepat saji yang menjadi impian Anak Panda. “Ingat, kita akan banyak mengandalkan kaki disini” Bapak Gajah berkata sambil menyemangati Anak Panda, dengan ransel di punggung yang sebetulnya terasa lebih berat sejak mereka turun dari besi roda. “OKE!” jawab tegas Anak Panda. Bertemu dengan kedai tersebut, mereka kemudian menikmati makanan cepat saji itu dengan lahap. Mereka sengaja memilih duduk dengan pemandangan jendela besar yang menampilkan suasana jalanan di senja itu. Terang cahaya matahari berganti dengan temaram lampu. Suasana sendu yang menarik. Lebih menariknya, tidak ada raungan klakson sama sekali, sepertinya para makhluk disini lebih santun dan sabar.

Lelah badan, gemetar kaki, dan getaran perut terobati. Satu jam berlalu, mereka telah siap bergerak kembali. Keluar dari kedai, Bapak Gajah dan Anak Panda menuju gerai cacing besi untuk membawa mereka ke tengah kota. Gagap sedikit untuk belajar dan beradaptasi, mereka akhirnya bisa menaiki cacing besi. Bapak Gajah selalu tersenyum melihat tingkah dan ekspresi Anak Panda atas setiap pengalaman yang dihadapinya, lelah yang dirasakan keduanya seolah terselimuti takjub atas pengalaman baru mereka berdua. 20 menit berlalu dan disanalah mereka, belok kiri setelah menuruni tangga di pintu keluar, pemandangan yang selama ini dilihat Anak Panda di layar HP kini terekam secara langsung dengan layar matanya. Pengalaman mahal yang Bapak Gajah akan selalu membayar berapapun atas ketakjuban Anak Panda. “Mari cari kamar singgah kita dulu baru nanti kita lanjutkan” ujar Bapak Gajah mengingatkan Anak Panda setelah selesai merekam pemandangan melalui layar HP mereka. “Iya, aku butuh berbilas” jawab Anak Panda. Dan kejutan datang kembali, ternyata hanya butuh beberapa langkah, mereka telah ada di depan pintu kamar singgah yang telah dipesan sebelumnya, bantuan semesta. Kelelahan, mereka beristirahat di kamar singgah, merentangkan badan dan kakinya, sebuah keadaan yang dirindukan Bapak Gajah dan Anak Panda 5 jam lalu.

  “Bapak Gajah ayo kita bertualang” ucap Anak Panda mengejutkan Bapak Gajah. “Yakin?, Nggak capek?” Bapak Gajah penasaran. “Udah bilas, udah rebahan setengah jam, ayo kita main” semangat Anak Panda. “Tapi ini sudah jam sepuluh, mau kemana? menara ganda?” balas Bapak Gajah sambil melihat jam di pergelangan tangan, tanah seberang itu satu jam lebih cepat dari tanah dirumah mereka. “Jauh tidak? Kalau jauh, yang dekat2 aja” nego Anak Panda. “Harusnya dekat, tapi kita masih belum tau bagaimana cara kesana. Atau yang lebih dekat dulu? Alir ada dibelakang kita” jawab Bapak Gajah. “Alir kalau begitu” Anak Panda menarik tangan Bapak Gajah untuk segera keluar kamar. Setelah beberapa langkah berjalan ke arah belakang kamar singgah, disanalah mereka. Sebuah pemandangan berpuluh-puluh kedai pinggir jalan di kiri dan kanan menyambut, pilihan pertama Anak Panda adalah sate strawberry berselimut gula. setelah membayar, mereka melanjutkan perjalanan, menuju kedai di ujung gang yang menurun ke bawah, disanalah mereka mencoba tanduk hitam dan raja musang. Syukurlah mereka hanya membeli sedikit. Entah karena lelah atau sudah terlalu malam, mereka merasa penuh. Waktunya kembali ke kamar singgah, beristirahat dan kembali mengisi tenaga. “Besok kita goa batu baru menara ganda ya” ucap Bapak Gajah ke Anak Panda sebelum menutup mata. “Yeaay…” dan Anak Panda tertidur.

Pukul 7 pagi, matahari tanah seberang belum muncul, Bapak Gajah telah bersiap, menunggu Anak Panda terbangun. Seperti biasa, Bapak Gajah tipikal yang terlalu terencana dan terburu-buru. Ia ingin menghapuskan itu, setidaknya sementara, disini, di tanah seberang ini. Ia tidak ingin menghancurkan memori baik Anak Panda selama di tanah seberang. Maka disitulah ia, duduk di tepi kasur, menunggu dengan tertahan. Anak Panda bergerak, sejurus kemudian matanya terbuka perlahan, tersenyum. “Hai Anak Panda, selamat pagi di tanah seberang” buka Bapak Gajah. “Bapak Gajah sudah mandi ya? kenapa ga dibangunkan sedari tadi?” balas Anak Panda setelah melihat tampilan Bapak Gajah. “Ah tidak apa, kita terlalu lelah semalam. Toh kita tidak sedang terburu-buru” Bapak Gajah menghibur. “Ok sebentar ya” Anak Panda mengumpulkan semangat dan energinya, kemudian bergegas mandi dan bersiap. Setengah jam kemudian “Ayo kita kemana” keluar dari suara Anak Panda. “Pemberhentian pertama, cari sarapan” Bapak Gajah menjawab dengan semangat. “Beras nikmat!” Anak Panda membalas. Mereka berdua keluar dari kamar singgah, mencoba mencari kedai sarapan. Namun kemana mereka berjalan, kedai itu belum siap menerima pesanan. Kecewa, mereka memilih melanjutkan petualangan menuju cacing besi. Goa batu menjadi pilihan utama, mereka terlalu trauma dengan antrian, sedangkan terbayang apabila mereka ke bukit Ganteng akan menghadapi antrian hanya untuk menaiki kotak gantung. Begitulah mereka sepagi itu sudah ada di dalam cacing besi, menuju goa batu, dengan sedikit tenaga hasil mampir ke toko kelontong 7 hanya untuk mengunyah sedikit coklat bar dan susu. Perjalanan seharusnya hanya memakan waktu 28 menit. Di menit ke 14, cacing besi berhenti di satu stasiun. Sang empunya memberitakan kabar sekenanya, Bapak Gajah dan Anak Panda beserta seluruh makhluk lainnya diminta turun dari cacing besi entah atas alasan apa. Kebingungan tapi tanpa pilihan. hampir lebih dari 10 menit menunggu, cacing besi kedua setelah cacing besi sebelumnya tidak menerima makhluk, Bapak Gajah dan Anak Panda kembali menuju goa batu mereka kembali. Tentu dengan mood yang tidak sama lagi, dan lapar kembali. 

Bapak Gajah dan Anak Panda akhirnya sampai di goa batu. Terkejut namun hanya sedikit terpukau. Ini lebih karena kompleks tersebut merupakan rumah ibadah agama tertua di dunia. terletak di sebuah bukit, berdiri tegak simbol keagamaan berwarna keemasan. Gagah seolah menyampaikan bahwa ialah pelindung situs tersebut. Bapak Gajah dan Anak Panda terlihat lemas, maka masuklah mereka ke kedai sederhana. Setelah memindai, bertanya, memesan dan menunggu, datanglah pesanan mereka. Anak Panda memesan mie kuah kari, dan seperti biasa Bapak Gajah yang terkesan pilah-pilih makanan memilih “makanan aman”nya, nasi goreng. Belakangan makanan itu juga tidak cukup aman bagi Bapak Gajah, citarasa kari. mungkin karena mereka kelelahan dan kelaparan atau lebih karena merasa sungkan dengan pemilik kedai, mangkuk dan piring itu kosong juga, padahal porsi disana satu setengah kali lebih besar. Setelah membayar, mereka lanjut melakukan eksplor. Masih bisa diperbaiki, ya obyek wisata ini masih bisa diperbaiki, bukan tempatnya, namun makhluknya. Mereka bisa lebih dibantu menjadi lebih profesional sehingga para pengunjung yang masuk tidak merasa kena “scammed”. Untung bagi Bapak Gajah dan Anak Panda, mereka tidak terjebak. lebih karena mereka tidak paham apa yang seharusnya akan disajikan di tempat yang sejak dari pintu masuk, mereka seolah “dipaksa” menuju tempat tersebut, padahal kompleks itu luas, dan spot paling penting adalah ditengah depan, tinggal lurus dari pintu masuk. Namun hampir seluruh makhluk digiring ke arah kiri terlebih dahulu. Setelah keluar dari jebakan tersebut, disanalah mereka. Bapak Gajah dan Anak Panda sedang mengamati patung raksasa simbol dewa penjaga kompleks tersebut. Ada anak tangga yang konon berjumlah 272, disebelah kirinya, berwarna-warni, curam. Bapak Gajah dan Anak Panda ingin membuktikan kebenaran jumlahnya, namun baru seperempat jumlahnya, mereka memutuskan turun. di sebelah mereka baru saja ada yang terjatuh karena tergelincir. Hari itu hujan baru saja selesai, tangga tersebut cukup licin untuk struktur 272 anak tangga agak curam keatas dan dengan lebar yang tidak seberapa. untung dia hanya terjatuh di tempat, tidak menggelinding ke bawah. atas pemandangan tersebut, muncul semangat dan kesepakatan Anak Panda dan Bapak Gajah untuk segera turun, demi keselamatan dan kesehatan mereka. Dan begitulah mereka, hanya berkelilng seperlunya, melihat kiri-kanan, keluar masuk kedai oleh-oleh, kemudian kembali lagi menuju lintasan cacing besi, bersiap kembali ke hingar bingar kota, menjadikan menara ganda sasaran kunjungan berikutnya. Setelah mampir sebentar ke toilet, terburu-buru menuju platform, cacing besi baru merayap hampir satu jam kemudian. Mereka kembali berkurang mood.

Berpindah satu cacing besi ke jalur yang lain, mereka menyusuri lorong dengan strategi yang sama, “ikut hanyut” kemanapun makhluk lain bergerak. Selesai menaiki tangga berjalan, Bapak Gajah dan Anak Panda merambat tangga manual, dan disanalah ia, di sebelah kiri menara ganda berdiri, dengan hiasan air mancur di depannya. beberapa menit Bapak Gajah dan Anak Panda berdiam, antara mengagumi atau kelelahan, mereka mengumpulkan tenaga untuk menapaki halaman sekitar menara ganda tersebut. Para makhluk lainnya saling berebut spot merekam diri. Setelah beberapa jepretan, Bapak Gajah dan Anak Panda mencoba menyusuri jalan kembali menuju kamar singgah mereka. Menurut petunjuk, hanya butuh 20 menit berjalan. Tidak apalah, toh mereka sudah terlanjur mengandalkan kaki kemanapun pergi selama ini, dan mencoba untuk menghemat sebanyak mungkin. Di perjalanan Bapak Gajah menawarkan “Kita sekalian cari makan yuk”. “Padi nikmat” Anak Panda membalas cepat tanpa ragu. “Sekalian kita berburu buah tangan” rajuk Bapak Gajah. “Makan dulu ya, lapar” Anak Panda menawar. kemudian mereka melantai mengikuti kemana peta digital mengarahkan. Berpindah trotoar, menyeberang jalan, dan kemudian menaiki terowongan di atas jalan hingga akhirnya keluar dan masuk mall. Disitulah mereka di penghujung jalan, mereka terduduk menghadap seporsi piring berisi padi nikmat. Anak Panda menikmati dengan lahan, sementara Bapak Gajah hanya sempat memasukkan satu sendok saja, ia tidak cocok. 

Setengah jam berlalu, “kita pulang dulu ya, kita butuh rebahan dan membilas badan” Bapak Gajah membuka kata setelah Anak Panda selesai makan. “Boleh, kaki sangat capek sekali” Anak Panda mengiyakan. Beruntung, kamar singgah hanya berjarak sepelemparan batu di sebelah kanan, dua ratus meter saja. “Mari kita istirahat sebentar, sebentar saja baru berburu buah tangan” ucap Bapak Gajah setelah mereka tiba di kamar singgah. Maka mereka berbilas, kemudian meringkuk di kasur empuk menumpuk kelelahan untuk dihancurkan menjadi semangat. Satu jam berlalu, sejak mereka meringkuk. “Sudah siap? Hari sudah sore, jangan terlalu malam, kita perlu istirahat untuk pulang ke tanah halaman” Bapak Gajah mencoba memastikan. Mungkin takut, merasa tidak enak, atau memang lelah telah luruh, Anak Panda menjawab sekenanya “Okelah”. Mereka keluar kamar singgah. Kali ini mereka menelusur sebelah kanan kamar singgah. Selama ini lajur bertualang mereka selalu diawali dengan melangkah ke sebelah kiri. Kali ini sama, keluar masuk gedung, hanya mengandalkan peta digital dan lima belas menit berlalu, mereka tiba di perhentian pertama. Menelusuri gang, mencomot barang kiri dan kanan, mereka menuju kasir. Dan selesai perburuan pertama berbuah ransel penuh dengan buah tangan. “Kita lanjut?” tanya Bapak Gajah. “Ayo, sekalian saja” Anak Panda meminta. Lima belas menit kemudian, berbeda arah dengan jalur mereka ke kamar singgah, mereka tiba di perhentian kedua. Di tempat tersebut mereka hanya sebentar. Toko bertingkat dengan gang sempit dan barang terdisplay menumpuk membuat mereka pusing. Namun mereka menyempatkan diri berbelanja. Sebentar kemudian mereka bergeser ke gedung di seberang jalan, perhentian terakhir untuk membeli buah tangan. “Bagaimana, apakah masih akan berburu?” tanya Bapak Gajah. “Cukup saja, terlalu lelah kita” jawab Anak Panda. Maka mereka kemudian memutar arah, kembali menuju kamar singgah. Jalur yang sama setelah mereka makan beras nikmat, dan hari telah berganti malam, matahari turun berganti dengan kemilau lampu jalanan dan sorot layar LED yang menggantung di sisi gedung. Maka malam itu persimpangan jalan sedang bermandikan hujan cahaya, perpisahan romantis bagi Bapak Gajah dan Anak Panda malam itu, esok mereka akan kembali ke halaman rumah. Setelah memastikan bahwa seluruh buah tangan yang diperlukan telah terbeli, mereka mampir sebentar ke kamar singgah, meletakkan perbelanjaan, untuk kemudian keluar kembali, menikmati malam sebelum kembali pulang. Deretan kerumunan muncul di banyak tempat, hari itu malam sabtu dan cukup ramai disana. Maka petualangan Bapak Gajah dan Anak Panda selesai di malam itu, selanjutnya mereka merebahkan badan di kamar singgah, meletakkan lelah, meredakan peluh dan mengumpulkan semangat untuk pulang esok hari.

Pagi berikutnya, Bapak Gajah dan Anak Panda telah siap meninggalkan kamar singgah. Sebelum beranjak, mereka terduduk sejenak. seperti sedang mereview seluruh pengalaman mereka. Seru namun melelahkan. Kaki mereka menggelayut manja. Kini mereka bersiap pulang. Setelah menyerahkan kunci kamar singgah, kaki mereka melangkah keluar. Berat sekali rasanya, antara masih ingin tinggal lebih lama namun berarti akan menambah lelah badan. Maka mereka berjanji, lain hari mereka akan lebih bersiap dan runtut. Pukul delapan, udara pagi itu sejuk, diiringi mendung tipis menghias langit. Suasana jalanan juga masih lengang, hanya satu atau dua kendaraan yang melintas di tiap menitnya. Benar-benar suasana yang sangat dirindukan. Bapak Gajah dan Anak Panda menapak tangga menuju cacing besi yang akan mengantar mereka ke persimpangan utama. Dua puluh menit berlalu, mereka telah tiba. Hujan turun dengan lebatnya, Bapak Gajah dan Anak Panda mampir sebentar ke sebuah kios, mencari sarapan coklat bar dan susu kaleng. Setelah menyantap tenaga, mereka ingin menyempurnakan pengalaman berkendara selama di tanah seberang. Setelah bertanya sebentar, Bapak gajah dan Anak Panda menuju lorong di sebelah kanan, mencari pintu masuk cacing besi ekspress. Maka begitulah di ujung perjalanan mereka, dua puluh lima menit berlalu mereka telah sampai di pintu perlintasan. Sambil menunggu nama mereka dipanggil, Bapak Gajah dan Anak Panda menjelajah seisi ruangan pintu perlintasan dengan janji masing-masing “Kami pasti kembali, nantikan kami”.

Quotes.

"puncak kebajikan adalah ketika dua orang bijak bertemu untuksaling mengagumi lawan bicara dan merendahkan diri sendiri."- myself

"what comes up must goes down, what goes down will go up."- nadiem makarim

"daripada setengah tahu, lebih baik tidak tahu."- habib husein jafar

"kebenaran bisa kalah tapi tidak mungkin salah."- yusuf hamka

"hidup ini tugasnya hanya menjaga dan merawat kepercayaan orang."- butet kartaredjasa

images

loading ...